Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Jambi – Istilah Kompeni (Compagnie) tak asing di benak orang Indonesia, karena sedari kecil kita mafhum bahwa kata kompeni adalah sebutan umtuk para penjajah Belanda, setidaknya begitulah yang kita pahami dari menonton Film si Pitung atau si Jii’ yang melawan Kompeni.

Namun, mungkin tak banyak yang tahu atau lupa, istilah Kompeni berasal dari singkatan VOC atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie, yang berarti Perusahaan Hindia Timur Belanda. Perkongsian pedagang Belanda.

VOC adalah perusahaan dagang Belanda didirikan pada tahun 1602. VOC memiliki pengaruh besar dalam perkembangan ekonomi dan politik pada abad ke-17 hingga ke-18 tidak hanya di Belanda tapi juga di Nusantara yang waktu itu masih berupa banyak kerajaan dan kesultanan.

Hak istimewa VOC waktu itu luar biasa, bisa memiliki pasukan militer sendiri, memiliki hak untuk memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian, memiliki hak untuk merebut dan menduduki daerah-daerah asing, memungut pajak, termasuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja saat itu.

Dampak monopoli dagang VOC pada Nusantara berupa penyusutan kesejahteraan masyarakat, penghisapan sumber energi alam, kesenjangan ekonomi dan sosial, penyusutan kedaulatan lokal.

Catatan ESDM (2019) melaporkan bahwa Provinsi Jambi memiliki cadangan batu bara sebanyak 1,9 miliar ton. Deposit itu diperkirakan baru akan habis dalam seratus tahun ke depan, dengan asumsi produksi daerah ini sebesar 19 juta per tahun.

Beberapa daerah penghasil batu bara di Provinsi Jambi di antaranya Kabupaten Sarolangun, Bungo, Tebo, Batang Hari, Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat. Dengan potensi besar di sejumlah daerah ini diharapkan akan membawa keberkahan, kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, harapan tinggal harapan, nyatanya, pelonjakan harga emas hitam tidak berpengaruh signifikan terhadap ekonomi lokal, misal di sektor tenaga kerja pertambangan. Namun, pengaruhnya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak signifikan. Harga naik, produksi meningkat, batu bara sifatnya padat alat, bukan padat karya. Jadi efeknya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan tahun 2023 (data kumulatif triwulan III) sebanyak 308.107 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan 2.074 orang Tenaga Kerja Asing (TKA). Hanya 1 persen secara nasional. Untuk Provinsi Jambi sektor Batubara, bahkan belum tercatat secara spesifik. Kalaupun tercatat tidak signifikan dibanding serapan sektor lain.

Tentu efek domino tetap ada. Dengan meningkatnya produksi, terjadi peningkatan permintaan terhadap keperluan alat. Pengusaha daerah yang bergerak di bidang alat berat sejak harga batu bara naik mendapatkan efek positif. Selain itu, pengusaha logistik seperti makanan dan bahan bakar ikut merasakan manisnya harga si batu hitam.

Pemprov Jambi memang dituntut untuk mengambil peran aktif. Pasalnya, batu bara menjadi komoditas yang bisa diandalkan mendongkrak kesejahteraan masyarakat setelah masa kejayaan perkayuan, sedangkan pada sektor perkebunan ketimpangan kepemilikan antara perusahaan dan masyarakat pada sawit dan karet yang mendominasi ekonomi daerah.

Tetapi secara luas, efek ekonominya tidak dirasakan Jambi. Itu karena kebanyakan perusahaan bukan milik pengusaha lokal. Akibatnya perputaran uangnya tidak di Jambi. Meski di atas kertas, naiknya harga batu bara memengaruhi produk domestic bruto (PDRB), namun emas hitam di Jambi belum banyak berperan dan memberikan manfaat bagi rakyat.

Realita hari ini : Tersebar isue pemerintah provinsi mulai Februari 2025 akan memperbolehkan angkutan batubara kembali melalui jalur darat. Situasi yang melahirkan traumatik bagi pengguna jalan, kemacetan, kematian hingga kerusakan jalan yang tak terperihkan akan terjadi kembali.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jambi memang sudah mengeluarkan surat bernomor S.541.2442/SETDA.PRKM/IX/2024 yang ditujukan kepada para pihak yakni Pemegang Izin PKP2B, IUP-OP, IPP, IUJP dan Transportir terkait larangan angkutan batu bara.

Bayangkan ribuan truk pengangkut Batubara merayap melewati ruas jalan nasional melintas di perkampungan bahkan perkotaan di Jambi. Berjuta-juta ton emas hitam keluar dari Jambi untuk diekspor ke berbagai negara. Dari tambangnya di Sarolangun dan Bungo, Batubara itu diangkut hingga ke kawasan Talang Duku di Muaro Jambi.

Angkutan Batu Bara di Provinsi Jambi memang kembali merajai Jalan Lintas dan membuat sesak pengguna dimalam hari. Situasi ini telah berlangsung sejak dua pekan terakhir. Persoalan angkutan batu bara ini sejatinya tidak hanya kemacetan saja, melainkan juga tingginya angka kecelakaan lalu lintas dan korban meninggal dunia.

Masyarakat tentu masih ingat betapa horornya kemacetan lalu lilntas akibat melintasnya angkutan batu bara beberapa waktu yang lalu. Bahkan ambulan yang membawa orang sakitpun, ikut terjebak dalam kemacetan. Tidak hanya membuat kerugian materil, tapi juga kerugian imateril bagi masyarakat provinsi Jambi

Soal kemacetan Angkutan Batubara di Provinsi Jambi bisa memicu angka inflasi yang tinggi di Jambi. Tahun 2022 lalu angka inflasi di Provinsi yang dipimpin Gubernur Al Haris ini telah memicu kenaikan harga pangan. Tak ada lagi efisiensi angkutan di Jambi, jalan utama yang menghubungkan Kota Jambi dan sentra produksi pangan di Merangin, Kerinci, Curup Sumsel macet karena batubara.

Masalah angkutan batubara, substansi persoalannya adalah hak masyarakat sebagai penguna jalan yang terampas atau bahkan tereliminasi. Dalam hal ini pihak yang menderita adalah masyarakat disepanjang jalur angkutan. Masyarakat rugi waktu karena macet, mengalami depresi sosial hingga cacat atau bahkan kehilangan nyawa adalah fakta yang tak terbantahkan.

Sekarang, kalau mau jujur, jalan khusus angkutan batu bara merupakan jalan tengah yang harus mulai dilakukan, karena melalui solusi ini juga potensi konflik dapat diminimalkan. Tidak seperti sekarang, pemerintah, khususnya Gubernur hanya mengulur waktu dengan solusi parsial sementara waktu, seperti memindahkan jalur jalan batubara dari Bulian, Bajubang, Tempino, Kota Jambi dan Talang duku. Pertanyaannya, mau sampai kapan, dan sampai kapan pula, masyarakat di sepanjang jalan itu tahan ?? Atau Kompeni baru yang menyusahkan dan memiskinkan masyarakat akan kembali hadir di Jambi ??